Minggu, 28 Maret 2010

Teman yang Bijak

Siang ini mentari begitu terik memancarkan sinarnya. Di bawah pohon rindang, Si Kerdil duduk berselonjor, sejenak beristirahat setelah melakukan pekerjaan yang cukup melelahkan.

Tak lama, seorang teman datang menghampiri lalu duduk disebelahnya. “Panas ya?” begitu Teman berucap memulai pembicaraan. Si Kerdil hanya mengangguk-angguk tanda setuju. “Dari tadi aku melihatmu bekerja sendiri di bawah terik matahari” katanya lagi. Si Kerdil hanya tertawa mendengar perkataan teman, sambil menyeka peluh yang bercucuran di dahinya.

“Kamu selalu begitu ya….” gumam Teman. “Maksudnya?” tanya Si Kerdil. “Mengerjakan semuanya sendiri” jawab Teman. Rupanya Teman selalu memperhatikan Si Kerdil ketika sedang bekerja. “Memangnya kenapa? Toh itu semua bagian dari tanggung jawabku” kata Si Kerdil menanggapi. “Tapi kamu terlalu mudah menerima pekerjaan, dan tidak memperhitungkan kemampuan diri sendiri…terlalu gampang berkata ‘ya’…” ujar Teman, “ pada akhirnya kamu akan memaksakan diri menyelesaikan semua” sambungnya lagi.

Mendengar semua itu, Si Kerdil berkata, sambil mencoba untuk tetap tersenyum, “Terima kasih, ternyata kau begitu peduli padaku. Tapi, teman yang bijak adalah teman yang mengetahui kapan saat yang tepat untuk mengingatkan lewat kata-kata, dan mengetahui kapan saatnya untuk mengulurkan tangan”



~kepada seorang teman~


Benteng Si Kerdil


Ini cerita tentang Si Kerdil.

Si Kerdil yang merasa kecewa pada dunia; ia merasa dunia selalu mempersulitnya. Tak ada orang yang bisa ia percaya, bahkan teman dekatnya sendiri. Karena itulah, ia memutuskan untuk membangun sebuah benteng tinggi dan kokoh di sekelilingnya, supaya “racun-racun” dunia tak membuatnya sakit (lagi). Waktu pun berlalu, dan benteng itupun berdiri sudah.

Dengan senyum puas, Si Kerdil berkata,

“Mulai sekarang, akan kuputus tali penghubungku dengan dunia. Aku akan hidup tenang di balik bentengku, tanpa ada seorangpun yang akan mengganggu. Tak akan lagi ada sakit, tak akan lagi ada kecewa. Yang ada, hanya ketenangan yang melingkupi…”

Benteng itu begitu tinggi, begitu kokoh. Memancarkan kesan angkuh, dan sedikit kesan misterius. Hanya ada satu pintu di temboknya, dan pintu itu selalu tertutup rapat, seakan-akan berkata “PERGI!!!” pada setiap orang yang mencoba untuk mengetuknya.



Hari itu, hujan turun.

Si Kerdil memandang ke luar benteng dari balik “jendela pengintip”nya. Ia melihat ada seorang Pengembara, yang berlari-lari di bawah guyuran hujan. Ia mencoba untuk tak peduli. Toh, ia tak mengenalnya. Tetapi, ternyata Pengembara itu berlari ke arah bentengnya, lalu mengetuk pintu benteng.

Si Kerdil mencoba untuk acuh, karena ia berpikiran ia telah memutuskan tali penghubungnya dengan dunia. Tetapi, Pengembara itu terus-menerus mengetuk. Si Kerdil jengkel, ia merasa terganggu.

Akhirnya, dari balik pintu, ia berkata,

“Maaf, aku tahu di luar hujan. Tapi aku tak bisa membiarkanmu masuk. Kau boleh berteduh di depan pintu kalau kau mau. Disana cukup terlindung dari guyuran hujan”

memang, pintu itu memiliki semacam kanopi di atasnya.

Pengembara menjawab, “Baiklah, aku mengerti. Aku akan berteduh di sini saja”.



Hujan masih turun.

“Hei, pemilik rumah, kau masih disana? Ayolah, aku tahu dari tadi kau mengawasiku dari balik pintu” Pengembara berkata.

“Daripada bengong, temani aku berbincang. Tak apa, kau bisa tetap di balik pintu. Aku tahu, kau bisa mendengarku dari sana”

Si Kerdil heran, darimana Pengembara tahu, bahwa sedari tadi ia tak beranjak dari balik pintu.

“Hei, boleh aku bertanya? Mengapa kau bangun benteng seperti ini? Di daerah sini tak ada yang membangun benteng seperti ini”



Hening.



Si Kerdil enggan menjawab, walau dalam hati kecilnya ia ingin, tapi rasa angkuhnya mengalahkan suara hati kecilnya. Lalu, ia berpikir, ia tak perlu menjelaskan pada Pengembara. Pengembara bukan siapa-siapa, Pengembara hanya seorang asing.



“Oh, maaf, pertanyaanku terlalu jauh ya? Begini saja, biar kutebak alasannya. Jika tebakanku benar, kau ketuk pintu dua kali. Jika salah, ketuk sekali saja. Sama halnya jika kau setuju, ketuk dua kali; jika tidak setuju, ketuk sekali. Bagaimana?”

Si Kerdil berpikir, baiklah. Tidak ada salahnya. Cukup adil. Lalu, ia mengetuk dua kali.



Lalu, Pengembara mulai menebak,

“……kau sembunyi di balik benteng karena….kau buruk rupa dan berpenyakit menular….?”

Panas kuping Si Kerdil mendengarnya. Kurang ajar sekali, begitu pikirnya. Ia mengetuk sekali, dengan keras.

“Ha…ha…aku Cuma bercanda, jangan marah!” Pengembara rupanya memahami makna ketukan tersebut.

“Biar kutebak lagi…….kau berhutang banyak sekali pada rentenir, lalu kau sembunyi disini untuk menghindari kejaran orang-orang suruhan rentenir itu……” sambung Pengembara.



Satu kali ketukan.



“Wah…salah ya?…….ternyata kau orangnya sulit ya…..baiklah, aku akan coba tebak lagi. Boleh, kan?”



Dua kali ketukan.



“Kau….” Pengembara berhenti sejenak, “………mengasingkan diri dari dunia….”



Satu kali ketukan…..disusul satu kali ketukan lagi.



“Kau…kecewa pada dunia, karena kau merasa selalu disakiti….”



Si Kerdil terhenyak. Pengembara seakan-akan mampu membaca pikirannya. Semua yang dikatakannya tepat sasaran. Ia ingin menjawab….



Hening.



Lalu terdengar dua kali ketukan.



“……karena itu, kau bangun benteng, ……dan memilih hidup dalam kesendirian…..”



Hening.



Si Kerdil terdiam, semua yang dikatakan Pengembara, benar adanya. Ia menghela nafas…..

Dalam keheranannya, ia berpikir, ternyata masih ada orang yang dapat mengerti….



Perlahan, ia mengetuk dua kali.



Di balik pintu, Pengembara tersenyum kecil. Lalu, ia berkata,

“Kau tahu?

Kau bisa saja memilih hidup dalam kesendirian. Tapi, selamanya kau tak ‘kan pernah bisa hidup sendiri……”





Di balik pintu, Si Kerdil tercenung, hati kecilnya mengakui kebenaran kata-kata Pengembara. Tangannya memegang pintu, lalu perlahan memutar kuncinya….

Tiga Puluh

30-12-2004



Satu, dua, tiga, empat…

Jari-jariku tak mencukupi lagi ‘tuk hitung bilangan hari yang telah terlewati. Kutatap kalender kecil yang teronggok di pojok meja belajarku. Di sana tertulis angka 31. Besok adalah hari terakhir di tahun 2004 ini. Kutarik nafas perlahan, lalu kuhela nafas panjang. Sepatah kata terlintas, penghujung tahun. Setidaknya, begitulah menurut penanggalan masehi.

Tubuhku meregang, sementara ingatanku berputar, mencoba mereka-reka kembali. Napak tilas. Kemudian, potongan-potongan ingatan mulai tergambar dalam imajiku. Seperti slide-show, gambar-gambar itu seakan menari-menari silih berganti. Duka, bahagia, tawa, tangis, perjumpaan, perpisahan...semua terangkum, walau tidak semua bisa kuingat jelas; tapi ada sebersit perasaan dekat, mungkin seperti de-ja-vu, seakan-akan semua itu baru saja terjadi kemarin.

Detik-detik berlalu. Tersentak aku dari lamunanku. Refleks, aku memandang jam yang terpajang di tepi tempat tidurku; sebuah tanda mata pemberian seorang teman pada peringatan hari lahirku , yang kebetulan jatuh pada bulan ini.

Kembali kupandang lekat-lekat benda itu. Aku berpikir, hidup kita mirip seperti mesin itu. Jarum jam selalu berputar sama, membentuk siklus, ada pengulangan di tiap titiknya. Sama halnya yang terjadi dalam hidup. Terkadang kita merasa maju, melewati hari demi hari. Tetapi ternyata, kita hanya memutari jalan yang sama; sehingga kita kembali menemui hal yang sama, lagi dan lagi. Seakan-akan jalur yang dilalui berupa lingkaran, bukan garis linear. Tetapi, mungkin saja aku salah. Mungkin beberapa orang di luar sana, menapaki jalur linear, bukan lingkaran.

Kembali kuhela nafas, panjang.

Suasana yang semakin sunyi seakan menjawil bahuku, menarikku keluar dari petualangan seru alam khayalku. Kupandang lagi jam itu. Menjelang tengah malam. Rupanya malam telah larut. Kurebahkan tubuh di kasur, kutarik selimut sebatas pinggang, dan kucoba pejamkan mata. Sementara alam bawah sadarku mulai merayap naik, sayup-sayup masih kudengar suara penyiar Metro TV memberitakan ”Indonesia Menangis”







Bandung, 02.01.2005


mengenang 3 tahun tsunami aceh, semoga teman-teman selalu diberi kekuatan, kesabaran,dan ketabahan 

Sang Bulan




Bulan bersinar penuh di malam cerah tiada berawan. Di bawah langit dua orang duduk berdampingan. “Sebelumnya, aku ga pernah sekalipun menikmati memandang bulan seperti ini…” begitu laki-laki itu berkata sambil tetap memandang langit. Lalu ia rebahkan badannya, menyangga kepala dengan tangannya.

Mendengar kata-kata laki-laki itu, orang yang duduk di sebelahnya menghela nafas lalu berujar,

“…sayang sekali…bulan itu indah banget lho. Apalagi kalau udah purnama”. Setelah berkata begitu, perempuan itu merubah posisi duduknya. Kaki diselonjorkan dengan dua tangannya menopang berat tubuhnya sementara kepalanya tengadah memandang benda bulat yang bersinar di langit sana.

“Dulu…aku pikir aku udah bakal menghasilkan sesuatu ketika umurku mencapai hitungan puluhan. Tapi ternyata…sampai detik ini aku masih merasa belum melakukan sesuatu yang berarti…” kembali laki-laki itu bertutur. Setelah itu, hanya hening saja, tiada suara selain derik serangga musim panas yang bersahut-sahutan.

Kemudian keheningan terkuak, “Lu liat bulan itu? orang bilang bulan itu munafik…ga tetap pendirian. Angin-anginan. Muncul, tenggelam. Muncul, tenggelam. Begitu terus.tapi, bukan seperti itu gw ingin memaknai bulan. Beranjak dari bulan mati, lalu bulan sabit…dan akhirnya menjadi purnama. Mirip siklus dalam hidup, kan? ada awal, ada masa perkembangan, …lalu ada masa kejayaan…” begitu perempuan itu menanggapi tutur kata laki-laki itu, tanpa melepaskan pandangannya dari sang bulan.

“Gitu ya?tapi aku masih tetap merasa, di umur yang udah memasuki kepala dua ini aku masih aja melakukan kebodohan-kebodohan…”sambung laki-laki itu. Mendengar kalimat yang keluar dari bibir laki-laki itu, perempuan itu terheran-heran. Lalu, ia alihkan pandangan pada laki-laki yang berbaring di sebelahnya itu. “Kok lu jadi pesimis gitu sih? ga seperti lu biasanya…manusiawi jika pada suatu waktu kita melakukan kebodohan. Bulan juga ga selamanya purnama. Setelah menjadi purnama, perlahan berubah menjadi bulan mati. Tapi itu ga berarti bulan bakal berhenti bersinar, kan?melalui serangkaian proses, bulan bakal jadi purnama lagi…”

Mendengar kata-kata perempuan itu, laki-laki itu menghela nafas, menutup mata, dan berkata,”Siklus ya? kalo gitu, kebodohan yang sama bakal terus berulang…”

perempuan itu bergerak, kembali merubah posisi duduknya. Kali ini bersila menghadap laki-laki itu. Lalu, ia berujar, “Ya ga gitu…siklus boleh berulang. Tapi namanya hidup kan dinamis? perubahan pasti terjadi…semua bergantung pada sikap yang kita ambil. Yang perlu dicontoh adalah semangat sang bulan untuk terus mencapai purnama. Ngerti, kan?”

________________________________________





Semilir angin malam berhembus, disertai suara serangga musim panas yang berderik bersahut-sahutan. Di bawah sinar bulan, keduanya berpandangan. Masing-masing dengan wajah yang dihiasi sebuah senyuman.



Bandung, 19.07.05-20.07.05

Stuck In A Moment








 
Di luar sana, hujan masih turun dengan lebatnya. Menyebabkan air menggenang dimana-mana. Laki-laki itu dan Perempuan itu hanya membisu, duduk bersebelahan. Bis yang mereka tumpangi terjebak kemacetan akibat air yang menggenang di jalan-jalan. Sesekali, laki-laki itu iseng mengusapkan tangan pada kaca yang mulai berembun. Bosan. Di sekeliling, hanya terdengar suara-suara kekesalan, klakson yang bersahutan…sementara dalam bis, orang-orang hanya berdecak kesal sambil mengipas-ngipas mencoba mengusir hawa pengap yang sedari tadi telah menyebar.

“Kamu akan menemui dia?”tanya laki-laki itu memecah kebuntuan pada perempuan yang duduk di sebelahnya.

“Entahlah…..”jawab perempuan itu pendek, lalu ia tertunduk. Rambutnya yang panjang jatuh tergerai menutupi wajahnya.

Lalu laki-laki itu menghela nafas panjang, sebelum akhirnya berucap, “Ketika satu pintu kebahagiaan tertutup, pintu yang lain dibukakan. Tapi sering kita terpaku terlalu lama pada pintu yang tertutup....tidak melihat pintu lain yang dibukakan....”usai berkata, laki-laki itu mengalihkan pandangannya pada perempuan itu.

Perempuan itu menyibakkan rambutnya yang tadi menutupi wajahnya. Laki-laki itu melihat, kening perempuan itu sedikit berkerut. Lalu, perempuan itu merogoh kantung jaketnya, mengeluarkan kotak rokok. Perempuan itu mengetuk-ngetukkan kotak rokok itu sejenak di telapak tangannya, mengeluarkan rokok sebatang, menyelipkannya di bibir, dan menyulutnya.

Perempuan itu memandang laki-laki yang duduk di sebelahnya. Benaknya teringat pada sebuah ungkapan, ”.... sahabat terbaik adalah dia yang dapat duduk bersamamu, tanpa mengucapkan sepatah katapun, dan kemudian kamu meninggalkannya dengan perasaan telah bercakap-cakap lama dengannya...”. Perempuan itu memandang laki-laki di hadapannya lekat-lekat, menghisap rokoknya dalam-dalam lalu menghembuskan asapnya perlahan.

“Kenapa?”laki-laki itu bertanya. Rupanya ia menyadari ada sesuatu dalam tatapan perempuan itu. ”Ngga...” kata perempuan itu sambil menjentikkan rokok pada lantai bis, ”Lu...sering banget nasehatin gw ya...”

Kening laki-laki itu sejenak berkerut, saat ia mencoba mencerna makna ucapan perempuan itu. Sementara itu, di luar sana langit semakin menumpahkan seluruh kelabunya, membuat butir-butir air meluncur semakin kencang. Membuat suara yang memekakkan telinga ketika butir-butir itu jatuh menimpa atap bis. Mungkin itu jawaban langit atas bising yang dibuat orang-orang yang berpijak di atas bumi.

“Gw mengerti...dengan jelas...gw ga bakal bisa hidup dengan tenang, kalo gw ga bisa melupakan kegagalan dan sakit hati di masa lalu...”perempuan itu berkata, “ ...but, u know what? ”sambungnya lagi, “...hal yang menyedihkan dalam hidup, ketika lu bertemu seseorang yang sangat berarti. Tapi kemudian, lu mendapati bahwa lu salah...bahwa semua itu ngga demikian adanya. Dan pada akhirnya lu harus rela melepaskan...”perempuan itu mengakhiri kata-katanya dengan menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu menghembuskan asapnya dengan keras.

“Begitu?...”laki-laki itu menanggapi. “Tapi mungkin ngga apa-apa juga,...kesedihan yang cukup, membuatmu manusiawi...” . Dengan lembut laki-laki itu meraih rokok dari tangan kanan perempuan itu, membuangnya ke lantai, dan menginjaknya.



______________________________________________________



(terinspirasi dari “Pelajaran Hati”)





jatinangor,16.12.05-17.12.05


Sabtu, 27 Maret 2010

Ayah Nomor Satu Di Dunia

seorang temanku menulis tentang kerinduan pada sang ayah di situs pribadinya.
membacanya, sungguh aku ingin meneteskan air mata,


Bapakku selalu nomer 1 di hati, 
meskipun dalam agama dikatakan "ibu,ibu,ibu kemudian Bapak"
bukan,bukan berartii aku mengesampingkan Ibu 
yang telah melahirkan ku ke dunia


berkelebat dalam benakku kejadian demi kejadian dari masa lalu


umurku saat itu belum genap lima tahun
aku dan kakakku lagi diguyur bareng-bareng ibuku :)..yak!waktunya sikat gigi dan mandi
ibu lagi ngurus kakakku dan menyikatkan giginya
ga mau kalah dong aku....segera aku ngibrit keluar dari kamar mandi
menghampiri ayahku yang saat itu berada di ruang kerjanya
kudapati ia sedang duduk depan meja, nampak serius mengerjakan sesuatu
sambil menyodorkan sikat gigi aku berkata, "Ayah, mau sikat gigi...."
saat itu ayah cuma tersenyum, tanpa berkata-kata  ia 'menggiring' ku kembali ke kamar mandi dan menyikat gigiku




waktu itu, aku dan kakakku masih sma
kami biasa berangkat bertiga pagi-pagi. ayah mengantar kami sampai sekolah, baru menuju kantor.
hari itu, kami kesiangan dan kami berangkat buru-buru
sesaat sebelum berangkat, aku teringat "Ayah, hari ini jumat kan...ga pake seragam korpri?"
"OH IYA! ayah lupa..." bergegas ayah masuk lagi kedalam rumah..sesaat kemudian keluar dengan berpakaian kemeja korpri (saat itu kemeja batik berlambang korpri masih berwarna biru)..tapi dengan celana coklat seragam PNS harian
"Yah, celananya ga diganti?" kataku
"Gampang lah, nanti aja di jalan" balas ayah, dan kamipun berangkat.
jalanan mulai ramai....dan macet. tiba-tiba, mobil VW yang kami tumpangi, ..MOGOK!!
aku dan kakak cuma bisa duduk dan harap-harap cemas, membayangkan bahwa kami akan terlambat sampai di sekolah.
Ayah beringsut keluar mobil, "Ini pasti selang bensinnya tersumbat lagi"
masih dengan pakaian ngga nyambung tadi, ayah keluar mobil...menyedot selang bensin supaya alirannya kembali lancar.
aku dan kakakku cuma bisa bengong di dalam mobil melihat aksi ayahku 


kali lain,
ayah mengajakku pergi, ke salah satu mall elektronik yang cukup terkenal di bandung
ayah mau beli jam tangan baru, karena miliknya sudah rusak 
si centil ini dengan semangat menyanggupi ajakannya....hmmm...ada udang di balik batu, hehehe
ya, saat itu aku ingin sekali ganti hape...padahal sebenarnya saat itu  hapeku masih bisa dipakai sih
ternyata, saat membeli hape yang diincar...uangku ngga mencukupi.
aku memandang ayah dengan pandangan memelas, lalu ayah membuka dompetnya dan mengeluarkan lembaran-lembaran rupiah. tanpa berkata-kata.
sepulang dari sana, aku dengan girang menenteng hape baru
"Ayah, beli jam tangan?" aku bertanya
"Ngga usah, nanti aja lagi" ayah menjawab, masih dengan senyuman di wajahnya
saat itu aku tersentak, ternyata uang yang diberikan padaku sebelumnya....itulah yang tadinya akan dipakai untuk membeli jam tangan baru.




bertahun-tahun berlalu sejak semua itu terjadi


hari ini, aku pulang dari kampus membawa selembar surat dari ketua program studi
tak sabar bertemu ayah dan ibu di rumah..
saat makan malam kuserahkan surat itu,
"Apa ini de?" kata ibuku
"Baca aja" jawabku pendek
"Mana coba ambilin kacamata ayah"
kusodorkan kacamata itu padanya
"Beasiswa de...??"ayahku berkata pelan, seakan tak percaya dengan apa yang dibacanya.
"iya...alhamdulilan..tapi cuma dapet satu semester sih" kataku
"Makasih ya de........." ayahku berkata, sambil meraih kepalaku dan mengecupnya


Ayah, andai kau tahu...sesungguhnya saat itu aku merasa kerdil........
kerdil sekali!
seharusnya aku yang berterima kasih, ayah....
dan andai aku bisa, ayah..kuingin persembahkan yang lebih dari ini,
untukmu, ayah nomor satu di dunia.. 

Like Mother Like Son

bagi orang-orang yang familiar dengan bahasa inggris,
mungkin akan sedikit mengernyitkan dahi ketika membaca judul di atas..
kenapa?
karena yang biasa terdengar kan, LIKE FATHER LIKE SON...atau ada juga yang bilang LIKE MOTHER LIKE DAUGHTER


tapi, inilah keluargaku
yaa, aku mau sedikit bercerita tentang keluargaku


akhir-akhir ini, aku sering memperhatikan hubungan kakakku dan ibuku
sehari-hari, mereka jarang akur. kalau bertemu, layaknya anjing dan kucing..
yang satu keras kepala, yang satu ngga mau kalah.
setiap hari...adaaaa saja yang diributkan


"Ih, ibu mah bawel...", begitulah kira-kira kalimat yang sering terlontar dari mulut kakakku
seakan ngga mau kalah, ibuku membalas, "kamu, keras kepala banget..ngga bisa dibilangin (dinasehati)"


tapi, dibalik itu semua...ada fenomena aneh dibalik 'ketidak cocokan' mereka


selera musik ibuku dan kakakku...mirip. keduanya sama-sama memiliki minat pada jenis musik yang sama
perasaan mereka yang sama-sama halus...mirip.
bahkan, suara jebar-jebur air ketika mereka mandi di kamar mandi.....MIRIP!


kadang aku berpikir, "ini mah...kaya teori magnet aja...kalau kutub-nya sama, pasti saling menolak"


benarkah?
ngga gitu juga ternyata. semaakin diperhatikan, ada satu kebiasaan kakakku yang membuatku menyimpulkan, bahwa hubungan mereka samasekali bukan seperti magnet yang berkutub sama.


setiap pagi,
bangun tidur kakakku selalu mencari, "ibu dimana?"
kalau dia tidak melihat sosok ibu di rumah, kakakku pasti langsung menelepon ibuku. hanya untuk menanyakan, "Bu, dimana?"
kakakku, selalu menjadi 'anak ibu'......"jelek-jelek juga, gimanapun juga....Mas tetep anak ibu..biar dia ngga sempurna, tapi ibu ngga mau anak ibu dijelek-jelekkan sama orang"


mulanya aku hanya memadang hal itu sebagai kebiasaan konyol kakakku....dan ucapan ibuku itu hanya sebuah pembelaan dari seorang ibu yang 'cinta buta' sama anaknya.
tapi sesungguhnya, despite all of their fighnting, they trully need each other


ayahku pernah berkata,
"memang mereka kelihatannya selalu bertentangan...tapi sesungguhnya, mereka saling mengisi satu sama lain"

"LIKE MOTHER, LIKE SON"

ternyata, bagi beberapa orang mendefinisikan 'cocok satu sama lain' melalui kemiripan, atau sifat-sifat yang sama
tapi bagi sebagaian lain....
cocok satu sama lain berarti saling mengisi dibalik segala hal yang bertolak-belakang diantara mereka