Minggu, 28 Maret 2010

Benteng Si Kerdil


Ini cerita tentang Si Kerdil.

Si Kerdil yang merasa kecewa pada dunia; ia merasa dunia selalu mempersulitnya. Tak ada orang yang bisa ia percaya, bahkan teman dekatnya sendiri. Karena itulah, ia memutuskan untuk membangun sebuah benteng tinggi dan kokoh di sekelilingnya, supaya “racun-racun” dunia tak membuatnya sakit (lagi). Waktu pun berlalu, dan benteng itupun berdiri sudah.

Dengan senyum puas, Si Kerdil berkata,

“Mulai sekarang, akan kuputus tali penghubungku dengan dunia. Aku akan hidup tenang di balik bentengku, tanpa ada seorangpun yang akan mengganggu. Tak akan lagi ada sakit, tak akan lagi ada kecewa. Yang ada, hanya ketenangan yang melingkupi…”

Benteng itu begitu tinggi, begitu kokoh. Memancarkan kesan angkuh, dan sedikit kesan misterius. Hanya ada satu pintu di temboknya, dan pintu itu selalu tertutup rapat, seakan-akan berkata “PERGI!!!” pada setiap orang yang mencoba untuk mengetuknya.



Hari itu, hujan turun.

Si Kerdil memandang ke luar benteng dari balik “jendela pengintip”nya. Ia melihat ada seorang Pengembara, yang berlari-lari di bawah guyuran hujan. Ia mencoba untuk tak peduli. Toh, ia tak mengenalnya. Tetapi, ternyata Pengembara itu berlari ke arah bentengnya, lalu mengetuk pintu benteng.

Si Kerdil mencoba untuk acuh, karena ia berpikiran ia telah memutuskan tali penghubungnya dengan dunia. Tetapi, Pengembara itu terus-menerus mengetuk. Si Kerdil jengkel, ia merasa terganggu.

Akhirnya, dari balik pintu, ia berkata,

“Maaf, aku tahu di luar hujan. Tapi aku tak bisa membiarkanmu masuk. Kau boleh berteduh di depan pintu kalau kau mau. Disana cukup terlindung dari guyuran hujan”

memang, pintu itu memiliki semacam kanopi di atasnya.

Pengembara menjawab, “Baiklah, aku mengerti. Aku akan berteduh di sini saja”.



Hujan masih turun.

“Hei, pemilik rumah, kau masih disana? Ayolah, aku tahu dari tadi kau mengawasiku dari balik pintu” Pengembara berkata.

“Daripada bengong, temani aku berbincang. Tak apa, kau bisa tetap di balik pintu. Aku tahu, kau bisa mendengarku dari sana”

Si Kerdil heran, darimana Pengembara tahu, bahwa sedari tadi ia tak beranjak dari balik pintu.

“Hei, boleh aku bertanya? Mengapa kau bangun benteng seperti ini? Di daerah sini tak ada yang membangun benteng seperti ini”



Hening.



Si Kerdil enggan menjawab, walau dalam hati kecilnya ia ingin, tapi rasa angkuhnya mengalahkan suara hati kecilnya. Lalu, ia berpikir, ia tak perlu menjelaskan pada Pengembara. Pengembara bukan siapa-siapa, Pengembara hanya seorang asing.



“Oh, maaf, pertanyaanku terlalu jauh ya? Begini saja, biar kutebak alasannya. Jika tebakanku benar, kau ketuk pintu dua kali. Jika salah, ketuk sekali saja. Sama halnya jika kau setuju, ketuk dua kali; jika tidak setuju, ketuk sekali. Bagaimana?”

Si Kerdil berpikir, baiklah. Tidak ada salahnya. Cukup adil. Lalu, ia mengetuk dua kali.



Lalu, Pengembara mulai menebak,

“……kau sembunyi di balik benteng karena….kau buruk rupa dan berpenyakit menular….?”

Panas kuping Si Kerdil mendengarnya. Kurang ajar sekali, begitu pikirnya. Ia mengetuk sekali, dengan keras.

“Ha…ha…aku Cuma bercanda, jangan marah!” Pengembara rupanya memahami makna ketukan tersebut.

“Biar kutebak lagi…….kau berhutang banyak sekali pada rentenir, lalu kau sembunyi disini untuk menghindari kejaran orang-orang suruhan rentenir itu……” sambung Pengembara.



Satu kali ketukan.



“Wah…salah ya?…….ternyata kau orangnya sulit ya…..baiklah, aku akan coba tebak lagi. Boleh, kan?”



Dua kali ketukan.



“Kau….” Pengembara berhenti sejenak, “………mengasingkan diri dari dunia….”



Satu kali ketukan…..disusul satu kali ketukan lagi.



“Kau…kecewa pada dunia, karena kau merasa selalu disakiti….”



Si Kerdil terhenyak. Pengembara seakan-akan mampu membaca pikirannya. Semua yang dikatakannya tepat sasaran. Ia ingin menjawab….



Hening.



Lalu terdengar dua kali ketukan.



“……karena itu, kau bangun benteng, ……dan memilih hidup dalam kesendirian…..”



Hening.



Si Kerdil terdiam, semua yang dikatakan Pengembara, benar adanya. Ia menghela nafas…..

Dalam keheranannya, ia berpikir, ternyata masih ada orang yang dapat mengerti….



Perlahan, ia mengetuk dua kali.



Di balik pintu, Pengembara tersenyum kecil. Lalu, ia berkata,

“Kau tahu?

Kau bisa saja memilih hidup dalam kesendirian. Tapi, selamanya kau tak ‘kan pernah bisa hidup sendiri……”





Di balik pintu, Si Kerdil tercenung, hati kecilnya mengakui kebenaran kata-kata Pengembara. Tangannya memegang pintu, lalu perlahan memutar kuncinya….

0 komentar:

Posting Komentar