Minggu, 28 Maret 2010
Sang Bulan
Bulan bersinar penuh di malam cerah tiada berawan. Di bawah langit dua orang duduk berdampingan. “Sebelumnya, aku ga pernah sekalipun menikmati memandang bulan seperti ini…” begitu laki-laki itu berkata sambil tetap memandang langit. Lalu ia rebahkan badannya, menyangga kepala dengan tangannya.
Mendengar kata-kata laki-laki itu, orang yang duduk di sebelahnya menghela nafas lalu berujar,
“…sayang sekali…bulan itu indah banget lho. Apalagi kalau udah purnama”. Setelah berkata begitu, perempuan itu merubah posisi duduknya. Kaki diselonjorkan dengan dua tangannya menopang berat tubuhnya sementara kepalanya tengadah memandang benda bulat yang bersinar di langit sana.
“Dulu…aku pikir aku udah bakal menghasilkan sesuatu ketika umurku mencapai hitungan puluhan. Tapi ternyata…sampai detik ini aku masih merasa belum melakukan sesuatu yang berarti…” kembali laki-laki itu bertutur. Setelah itu, hanya hening saja, tiada suara selain derik serangga musim panas yang bersahut-sahutan.
Kemudian keheningan terkuak, “Lu liat bulan itu? orang bilang bulan itu munafik…ga tetap pendirian. Angin-anginan. Muncul, tenggelam. Muncul, tenggelam. Begitu terus.tapi, bukan seperti itu gw ingin memaknai bulan. Beranjak dari bulan mati, lalu bulan sabit…dan akhirnya menjadi purnama. Mirip siklus dalam hidup, kan? ada awal, ada masa perkembangan, …lalu ada masa kejayaan…” begitu perempuan itu menanggapi tutur kata laki-laki itu, tanpa melepaskan pandangannya dari sang bulan.
“Gitu ya?tapi aku masih tetap merasa, di umur yang udah memasuki kepala dua ini aku masih aja melakukan kebodohan-kebodohan…”sambung laki-laki itu. Mendengar kalimat yang keluar dari bibir laki-laki itu, perempuan itu terheran-heran. Lalu, ia alihkan pandangan pada laki-laki yang berbaring di sebelahnya itu. “Kok lu jadi pesimis gitu sih? ga seperti lu biasanya…manusiawi jika pada suatu waktu kita melakukan kebodohan. Bulan juga ga selamanya purnama. Setelah menjadi purnama, perlahan berubah menjadi bulan mati. Tapi itu ga berarti bulan bakal berhenti bersinar, kan?melalui serangkaian proses, bulan bakal jadi purnama lagi…”
Mendengar kata-kata perempuan itu, laki-laki itu menghela nafas, menutup mata, dan berkata,”Siklus ya? kalo gitu, kebodohan yang sama bakal terus berulang…”
perempuan itu bergerak, kembali merubah posisi duduknya. Kali ini bersila menghadap laki-laki itu. Lalu, ia berujar, “Ya ga gitu…siklus boleh berulang. Tapi namanya hidup kan dinamis? perubahan pasti terjadi…semua bergantung pada sikap yang kita ambil. Yang perlu dicontoh adalah semangat sang bulan untuk terus mencapai purnama. Ngerti, kan?”
________________________________________
Semilir angin malam berhembus, disertai suara serangga musim panas yang berderik bersahut-sahutan. Di bawah sinar bulan, keduanya berpandangan. Masing-masing dengan wajah yang dihiasi sebuah senyuman.
Bandung, 19.07.05-20.07.05
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar