Selasa, 28 Juni 2011

Abu dalam Asbak

Asap rokok mengepul pelan dari rokok yang terselip diantara jemari tangan kanan perempuan itu.
"Sori, tolong ambilin asbak" kata perempuan itu pada laki-laki yang duduk di hadapannya, sambil menunjuk asbak yang dimaksud.
Laki-laki itupun meraih asbak, dan mengopernya pada perempuan itu. Kemudian perempuan itu menjentikkan batang rokok yang telah terbakar menjadi abu pada asbak itu. Pandangannya menerawang, ke luar jendela, lalu berujar,
"...masa lalu itu seperti hantu, yang datang begitu saja tanpa diundang, kemudian mengganggu. Dan kenangan seperti gulali, manis ketika kita masih bisa mencecapnya...tapi ketika habis...semua jadi tak berarti. Gue nggak butuh itu semua..maka gue coba lupain aja. Buat gue, yang nyata adalah apa yang gue hadapi sekarang dan apa yang akan gue hadapi nanti.."

Laki-laki itu hanya tersenyum simpul mendengar ucapan perempuan itu dan melihat gelagatnya. Perempuan itu bicara tanpa sedikitpun menatap wajahnya; melayangkan pandangan pada pemandangan di balik jendela.
Masih dengan senyuman tersungging di bibirnya, laki-laki itu menanggapi,
"Benar begitu? coba tanya hati kecil kamu. Apa dengan begitu kamu bisa berbahagia?"

Perempuan itu menoleh sejenak pada laki-laki itu, lalu menghisap rokoknya.
"Kenapa nggak? butuh waktu yang lama untuk menyembuhkan sebuah luka...apa gue harus kembali memunguti serpihan-serpihan kehidupan gue yang buyar hanya gara-gara itu semua...Nggak, gue samasekali nggak rela!"
kembali ia buang pandangannya ke luar jendela.

Mimik laki-laki itu berubah. Ia lalu menggeser bangku yang didudukinya lebih dekat ke meja. "Tapi kalo kamu nggak coba untuk berdaman dengan itu semua, selamanya mereka akan jadi hantu dan gulali bagi kamu.." ia berhenti sejenak menarik nafas, "sesungguhnya betapa mudah untuk melupakan. Namun yang tersulit adalah untuk tidak mengingat kembali. Jalani saja. Perlahan, kamu akan belajar untuk merelakan, menerima, dan berbahagia itu semua pernah terjadi padamu. Karena dari situlah, kamu bisa menapak setingkat lebih tinggi di tangga kedewasaan..."

perempuan itu tersentak, memotong dengan cepat, "Tapi gue nggak butuh menjadi dewasa!!"

Tiba-tiba saja, laki-laki itu meraih tangan kanan perempuan itu, mengambil rokok dari jemarinya, lalu mematikannya di asbak.
Kemudian, ia genggam erat tangan kanan perempuan itu dengan kedua telapak tangannya. Lalu perlahan berujar,
"Lalu apa? perlahan jadi tua, terus mati tanpa pernah mencapai apapun? ayolah....hidup adalah pilihan. Berbahagia adalah pilihan. Dewasa adalah pilihan. Tenggelam dalam kekecewaan pun adalah pilihan...
Semua terserah kamu. Bagaimanapun, kamu yang menjalani semuanya"

Perempuan itu menatap laki-laki itu dan menjawab, "Tapi semua nggak sesederhana itu..."

Laki-laki itu tertawa, "Siapa bilang? kalau ingin berbahagia, ya berbahagialah...gampang kan?"


_________________

 

Kantin telah sepi. Meja telah ditinggalkan pengunjung. Rokok tak lagi mengepulkan asap, yang ada hanya onggokan abu dalam asbak.

0 komentar:

Posting Komentar