Jumat, 24 Juni 2011

Surat dalam Amplop Merah Jambu


Perempuan itu menghela nafas panjang, lalu melirik pada jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Tiga puluh menit sudah ia menunggu di ruang tunggu lobby. Tapi tak tampak jua batang hidung lelaki yang dinantinya. Getaran pelan terasa dari dalam tas. Perempuan itu lalu merogoh-rogoh ke dalam backpacknya, meraih telepon genggam. Sebuah pesan diterima. Maaf jalanan macet banget. Kayaknya bakal telat sampe sana.

 
_____________________


 
S**T!! laki-laki itu memaki dalam hati. Kenapa harus hari ini sih?! ia menyesali keputusannya. Seharusnya aku nggak usah ambil lembur weekend ini! dalam hati ia kembali bergumam. Ia memandang antrian panjang mobil-mobil di depannya yang sedari tadi nampak tak bergerak. Seperti ular besar yang kekenyangan makan. Gendut. Diam. Telepon genggamnya berbunyi. Ah, ada pesan dari perempuan itu.
Gue gak bisa lama-lama disini. Kalo tar lu dateng gue udah nggak ada, pergi ke meja resepsionis ya, gue nitip sesuatu buat lu disana.

 
_____________________

 

Laki-laki itu bergegas lari ke lobby. Celingukan. Kemudian tertunduk sambil mengepalkan tangan. Perempuan itu tidak ada. Dengan langkah gontai ia berjalan menuju meja resepsionis. Sehelai amplop berwarna merah jambu berpindah tangan padanya. Pelan-pelan ia buka segel amplop dan mengeluarkan sehelai kertas dari dalamnya.



"mungkin aku harus berterima kasih padamu; karenamu aku belajar untuk melupakan.
walaupun itu tentangku, tentangmu, juga tentang kita. dari situ aku mengerti, tiada yang sempurna di dunia ini.
mungkin aku harus berterima kasih padamu; yang membuatku sadar bahwa sesuatu yang sepertinya penting bisa jadi bukan apa-apa. kesalahan bukan padamu, atau aku. hanya saja sudut pandang kita sedikit berbeda.
dan sekali lagi, mungkin aku harus berterima kasih padamu;
karenamu aku belajar untuk dewasa, lebih kuat dan lebih tegar dalam menghadapi kenyataan yang terburuk, walaupun dengan cara yang menyakitkan.
Tapi, itu semua lebih baik daripada terus menerus berpura-pura. betapa aku ingin mencaci, memaki, bahkan membenci....
tapi karenamu, aku belajar bahwa tiada yang lebih baik dari merelakan dan memaafkan, karena betapapun pahitnya perpisahan dan beratnya rasa sakit yang harus kutanggung,
hanya akulah yang bisa menyembuhkan diriku sendiri.
karena itu tiada kata lain yang lebih menenteramkan selain TERIMA KASIH,
dan mengambil hikmah dari semuanya"


Laki-laki itu tertegun. Jemarinya bergetar memegang kertas dari amplop merah jambu yang ada di pangkuannya. Malam itu, hujan turun rintik-rintik.




2 komentar:

nz mengatakan...

ya ampun T__T aku ga mau kayak gituuu..

si miNyun mengatakan...

kayak yang mana?
yang laki-laki atau yang perempuan? ;)

Posting Komentar